Wawan Gunawan Genji
Membangun Peradaban Baru...
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI, PASTIKAN ANDA JADI BAGIAN SANG PERUBAH PERADABAN
JADILAH GENERASI JITU DENGAN MEN"JITU"KAN DIRI SENDIRI
Jumat, 21 September 2012
SAATNYA SEORANG BIROKRAT MEMPERBAIKI BIROKRASI (Harapan untuk Bupati Subang yang baru dilantik)
Pemerintah tengah gencar – gencarnya mengagendakan Reformasi Birokrasi sebagai tuntutan paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah juga telah menetapkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 –2025 yang menetapkan delapan area perubahan, yang kemudian disederhanakan lagi menjadi Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi yang lebih aplikatif. Dari program tersebut bermakna bahwa Reformasi Birokrasi bertujuan mewujudkan birokrasi yang bersih, kompeten dan melayani.
Untuk mewujudkan Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi Pemerintah melalui Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sedang melaksanakan Program Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), dimana program tersebut berpedoman pada Peraturan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi No 1 Tahun 2012. Saat ini program tersebut masih berjalan di istansi pusat yaitu di 36 K/L, yang selanjutnya akan diterapkan di instansi pemerintah daerah.
Adapun yang menjadi alasan perlunya reformasi birokrasi adalah untuk mengembalikan performance dan fungsi birokrasi yang selama ini atau sejak masa kolonial, orde lama , orde baru, hingga orde reformasi sekarang ini cenderung memiliki potret buram bahkan hitam, tapi itulah yang tercitra di masyarakat sekarang. Masyarakat sudah anti pati terhadap birokrasi yang terkesan kaku (rigid), berbelit – belit, inefisien, unproductive dll.
Birokrasi merupakan mesinnya pemerintahan, sehingga kerusakan birokrasi sangat berpengaruh besar terhadap baik dan buruknya penyelenggaraan pemerintahan. Kerusakan birokrasi tersebut tercitra di media massa sehingga seluruh lapisan masyarakat mengetahuinya, dimana semakin menguatkan bad public opinion atas birokrasi. Kuatnya bad public opinion tersebut seakan mengubur citra atau perfomace positif sebagian birokrat yang masih memiliki idealisme (tinggi).
Birokrat tidak bias tinggal diam atas permasalahan tersebut dan harus pro aktif menyelesaikan masalah birokrasi. Masalah birokrasi yang lebih dikenal dengan patologi birokrasi seperti dikemukan Sondang Siagian (1988) diantaranya adalah : penyalahgunaan jabatan dan wewenang, KKN, diskriminasi dan kelaambanan pelayanan dan lain–lain. Patologi tersebut seakan susah dihilangkan dengan alasan sistem dan mentalitas birokrat itu sendiri. Relasi sistem dan mentalitas cenderung bersifat negatif dimana tidak ada jaminan salah satunya baik berimbas baik terhadap satunya. Sehingga yang terjadi munculnya ketidak beresan penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan yang lebih parah faktor mental itu sendiri sebenarnya yang merusak sistem yang sudah bagus atau dengan kata lain sebaik apapun sistemnya kalau SDM-nya tidak baik menjadi percuma dan lebih berbahaya ketimbang SDM-nya baik sementara sistemnya kurang baik.
Secara teoritis munculnya patologi birokrasi tersebut disebabkan oleh tipologi birokrasi itu sendiri, dimana dikenal ada tipe Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, Orwellian dll. Birokrasi yang ideal seperti dicita–citakan oleh Max Weber tampaknya masih jauh panggang dari api. Faktanya di lapangan belum menunjukan tipe birokrasi seperti yang dikemukan Weber tersebut. Dimana menurut Weber idealnya birokrasi harus efektif, efisien, rasional, professional dan berorientasi publik.
Weberian merupakan tipe yang ideal tapi yang terjadi di lapangan justru tipe Parkinsonian, Jacksonian, Orwellian, dimana ketiag tipe tersebut bersifat negatif. Tipe Parkinsonian ditandai oleh sosok penggelembungan sosok kuantitatif tanpa kesiapan infrastrukur dan suprastruktur, tidak adanya SDM yang capable, pola rekruitmen yang asal – asalan dan prilaku koruptif.
Konsekuensi dari tipe Parkinson itu menyebakan lahirnya patologi birokrasi diantaranya gagap, lamban, berbelit–belit, tebang pilih dan koruptif. Dari patologi tersebut muncul tipe birokrasi Orwellian, dimana Negara menjadikan birokrasi sebagai perpanjangan pemerintah untuk melakukan hal – hal yang tidak semestinya dilakukan birokrasi atas nama Negara. Lebih parah lagi tipe Orwellian tersebut memunculkan tipe Jacksonian yang menempatkan birokrasi sebagai mesin politik pengumpul kekuasaan Negara.
Birokrasi harus berubah ke arah yang lebih baik sebelum terjadi stagnancy karena sudah lama publik dihinggapi oleh ketidakpercayaan terhadap birokrasi. Perubahan seakan sulit tapi kalau tidak secepatnya dimulai akan semakin berbahaya karena bom waktu yang high explosive akan segera meledak. Kuncinya perubahan itu harus oleh birokrat itusendiri yang mau berubah memperbaiki diri.
Khususnya birokrat subang harus segera berbenah, memperbaiki diri menyikapi tuntutan, tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat saat ini. Idealnya sebelum memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, maka patologi birokrasinya harus diobati dulu melalui reformasi birokrasi seperti yang diagendakan oleh pemerintah saat ini. Kalau birokrasinya sudah sehat, kompeten dan professional maka akan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat.
Perubahan yang efektif harus dimulai dari atas (top manager). Perubahan paradigma organisasi berkaitan erat dengan perubahan paradigma kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu untuk mengubah tatanan birokrasi diperlukan perubahan dari level atas atau top eksekutif melalui komitmennya terhadap perubahan itu sendiri. Maka peranan Kepala Daerah yaitu Gubernur, Bupati/Walikota sebagai pimpinan eksekutif di daerah sangat vital terhadap perubahan tatanan birokrasi. Diharapkan dengan adanya komitmen dari kepala daerah terhadap perubahan birokrasi akan membawa angin segar terhadap suasana dan fenomena birokrasi Subang pada khususnya.
Kalau mengacu pada Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi yaitu :
1. Penataan Struktur Birokrasi;
2. Penataan JUmlah dan Struktur PNS;
3. Sistem Seleksi CPNS dan Promosi PNS secara terbuka;
4. Profesionalisme PNS;
5. Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri;
6. Pengembangan Sistem Elektronik Pemerintah (E-Government);
7. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Aparatur;
8. Peningkatan Pelayanan Publik;
9. Efisiensi Penggunaan Fasilitas, Sarana dan Prasarana Kerja PNS.
Maka yang paling urgent di Kabupaten Subang adalah program Profesionalisasi PNS dan Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri karena dua program tersebut sangat berkaitan erat atau saling mempengaruhi (relasipositif). Program Profesionalisme PNS mempunyai sub program diantaranya : penetapan standar kompetensi jabatan; peningkatan kemampuan PNS berbasis komptensi; mutasi dan rotasi sesuai kompetensi secara periodik, pengukuran kinerja individu dan lain–lain. Sedangkan program Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri mempunyai sub program diantaranya : perbaikan system penggajian; pemberian Tunjangan Berbasis Kinerja secara Bertahap dan lain – lain.
Sistem birokrasi yang baik harus memiliki sub sistem yang baik juga diantaranya SDM /Aparatur / Birokrat yang baik dengan indikator track record, kompetensi, integritas dan lain–lain sehingga birokrat tersebut dalam mengemban tugas dalam birokrasi akan lebih berdaya, berwibawa, bersih dan capable. Secara umum penempatan PNS dalam suatu jabatan apalagi yang strategis harus menggunakan prinsip the right man on the right place harus melalui kajian yang matang oleh BAPERJAKAT serta tidak boleh asal–asalan atau terkesan dipaksakan oleh alasan yang tidak rasional atau bersifat pribadi. Bahkan jauh beberapa abad yang lampau telah dipraktekan kaum muslim sebagai pandangan manajemen kepegawaian pada masa itu yang mengacu pada ajaran agama Islam dimana terdapat keterangan bahwa “ jika ada penempatan seseorang bukan pada tempatnya maka tunggu kehancurannya ”.
Oleh karena itu untuk mengisi jabatan strategis yang lowong di Pemerintah Kabupaten Subang diperlukan orang–orang yang benar siap, mampu, berkompeten, berpengalaman, bersih dan berintegritas. Tentunya semua itu dapat dilihat dari riwayat pendidikan, pekerjaan atau jejak karier PNS yang bersangkutan. Indikator pengalaman sangat mahal karena tidak bisa dicetak tapi melupakan proses yang terikat waktu. Idealnya mutasi atau promosi seorang PNS harus equivalen dengan latar belakang pendidikan, kemampuan teknis serta rekam jejak karier atau pengalaman kerja, sehingga akan terjadi sinkronisasi antara person dan job.
Munculnya patologi birokrasi seperti di Kabupaten Subang berawal dari tidak diberlakukanya prinsip the right man on the right place mulai dari rekruitmen, penempatan, mutasi dan promosi. Diperparah oleh obesitas komposisi jumlah PNS dan distribusinya yang tidak merata atau tidak proporsional. Keadaan tersebut juga diperparah oleh budaya KKN yang merajalela yang merupakan penyakit lama dan akut bahkan endemic yang dimiliki oleh birokrasi sejak dulu.
Adapun jabatan strategis di Kabupaten Subang yang perlu diisi oleh the right man adalah Sekretaris Daerah, Assisten Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Kepala Dinas Bina Marga, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Sosial dan lain –lain. Jabatan tersebut merupakan jabatan yang vital yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hajat hidup masyarakat Subang. Diharapkan Bupati Subang sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dan BAPERJAKAT dapat menempatkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat sehingga roda pemerintahan akan berjalan lancar, efektif, efisien dan bermanfaat positif yang besar bagi seluruh masyarakat Subang, sehingga masyarakat Subang akan bangga dengan birokrat subang sebagai birokrat yang bersih, kompeten dan melayani.
7-9-2012
JCK
Kamis, 09 Agustus 2012
Kado "sederhana" untuk istriku (Hari Ulang Tahun Pernikahan Kita.......Cinta)
Assalamu'alaikum Wr.. Wb....
Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya, yang telah mempertemukan kita berdua di jalan ini, yang telah mengikatkan hati kita dalam bingkai pernikahan yang suci nan agung, yang telah menyatukan mahligai cinta kita dalam bahtera rumah tangga....
Cintaa.....sayangku....Istriku tercinta
Hari Jum'at Tanggal 10 Agustus 2012,tepat tiga tahun kita bersama merajut benang-benang tali kasih. tiga tahun memng bukan waktu yang sangat lama tetapi tidak juga waktu yang sebentar yang kita lalui,untk mengenal, memahami, dan saling mengasihi di antara kita. hari demi hari, detik demi detik dan helaan nafas ku habiskan bersama mu. Cinta...Maha suci Allah yang telah mentakdirkan kita dalam ikatan-Nya, teringat pertama kali kita bertemu dalam suasana yang jauh dari kesepahaman, kita tdk saling kenal, kita saling berprrasangka, apalagi menghitung perkenalan kita yang hanya sekitar 2 bulan, tanpa pacaran dan kita hanya bertemu beberapa kali itupun hanya berkilas pandang, sedikit pembicaraan bahkan tidak. tapi satu hal ku yakini... niat kita sama dlam rangka menyempurnakan agama-Nya dan mencari ridhoNya. atas kebulatan niat yang suci itupun ku mantapkan hati untuk meminangmu dengan Bismillah....(kayak lagu sama sinetron aja he..he..)
Cinta....
Kebahagian kita bertambah dengan karunia Allah yang telah mmberikan kita seorang bidadari cantik "ALMAIRA HUSNA SHALIHAH", yang tak terasa kemarin kita rayakan Ulang tahunnya yang ke -2. senyuman dan celotehnya selalu menghiasai hari-hari kita, kelelahan dalam aktivitas keseharian seolah hilang ketika bertemu dengan senyuman mu dan wajah lucu putri cilik kita...semoga kita berdua bisa jadi orang tua teladan baginya, teladan dalam kebaikan menuju ridho Allah SWT..
Istriku tersayang.....
berbagai rintangan dan cobaan telah kita hadapi dalam lika-liku perjalanan rumah tangga "kecil" ini, riak-riak permasalahn yang sering hadir dalam hari2 kita, coba kita selesaikan dengan arif dan bijaksana. sampai sekrang aku masih terus belajar memahami dan mengerti dirimu. Aku sadar diriku tak sesempurna yang kau bayangkan seblm kita menikah, diriku memng bukan lelaki ideal 100 % yang kau idam-idamkan, diriku memang belum bisa memuaskan harapan-harapanmu, diriku memng bukan orang yg selalu buat tertawa bahagia, terkadang kau tersakiti, terkadang kau merasa sendiri, terkadang kau ......, Sayangku..maafkan lah aku yang tak sempurna ini..tapi ingatlah aku punya motivasi tingkat tinggi (karena Allah) untuk terus berusah membahgiakanmu. aku ingin terus berjuang bersamamu membangun peradaban generasi qurani di rumah mungil kita...Allahu Akbar..Allahu Akbar...
sayangku....
di hari pernikahan kita ini, tak ada kado spesial yang mungkin ku berikan padamu, tak ada perayaan super mewah yang kuhadirkan padamu, aku hanya ingin kau tahu betapa aku menyayangimu karena Allah. Disaat dirimu baca tulisan ini, ketahuilah... Aku membayangkan senyuman di wajah cantik mu, aku merindukanmu....
Mari kita dekatkan diri kepada Rabb, Allah SWT. ku ingin kau dan keluarga kita selalu dalam lindungan dan kasih sayang-Nya...ingatkan aku bila ku khilap, kuatkan kesabaranku bila ku resah, bimbing aku bila ku salah.....
Ya Allah limpahkn rahmat dan kasih sayangMu pada keluarga ku...
jadikan kami keluarga sakinah Mawaddh dan warohmah...
penuh ketentraman, penuh kasih sayang dan cinta dari Mu..
Ya allah bimbing terus keluarga kami menuju jalan kasih Mu,
agar kami berkumpul dalam golongan orang2 yang mendapatkan naungan dan reuni di surgaMu yang abadi...amiin..
Rabu, 06 Juni 2012
Pidato KH Hasyim Muzadi yang Menghebohkan Itu
Written By Admin BeDa on Senin, 04 Juni 2012 | 22:00a
Baru-baru ini beredar pidato menghebohkan dari mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi melalui pesan berantai BlackBerry Messenger (BBM) dan media sosial.
Bagi umat Muslim yang komitmen dengan syariat Islam, pidato Hasyim Muzadi itu adalah pidato yang brilian dan patut mendapat acungan jempol. Namun, bagi kalangan liberal dan pihak-pihak yang “memusuhi” Islam, pidato itu dianggap “radikal.”
Seperti apa pidato yang menghebohkan itu? Berikut isi pidato Hasyim Muzadi yang juga Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars) tentang tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia oleh Sidang PBB di Jeneva :
"Selaku Presiden WCRP dan Sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia.
Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah AHMADIYAH, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi Politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam.
Kalau yang jadi ukuran adalah GKI YASMIN Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional & dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai.
Kalau ukurannya PENDIRIAN GEREJA, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi.
Kalau ukurannya LADY GAGA & IRSHAD MANJI, bangsa mana yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan Intelektualisme Kosong ?
Kalau ukurannya HAM, lalu di Papua kenapa TNI / Polri / Imam Masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM? Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid, lebih baik dari Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab, lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawiman Sejenis. Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis ?!
Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia, kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar (humanisme) dan mana yang sekedar Weternisme". [JJ/Trb/yi]
Kamis, 31 Mei 2012
Rabu, 30 Mei 2012
Kontribusi Terhadap Dakwah
26/8/2007 |
13 Sya'ban 1428 H | Hits: 10.319
Pada
dasarnya umat manusia menginginkan perubahan dalam hidupnya. Baik secara
individual maupun kolektif. Dan ajaran Islam memberikan konsep yang jelas untuk
mencapainya. Yakni perubahan menuju kehidupan yang lebih baik dari hari ini.
Kondisi ke arah itu hanya dapat dilakukan melalui penataan dakwah dengan
sebaik-baiknya.
Upaya untuk
mencapai perubahan umat ini, dakwah tidak dapat mengandalkan kekuatan di luar
kemampuan manusia. Sekalipun orang beriman mengakui adanya kekuatan-kekuatan di
luar kemampuan manusia yang dapat mempengaruhi kekuatan dirinya.
Untuk meraih
terwujudnya cita-cita perjuangan dakwah, kontribusi aktivis dakwah menjadi
kunci utamanya. Dengannya kemudahan-kemudahan dakwah akan datang menyertai
perjuangan mulia tersebut. Sehingga kontribusi dalam dakwah merupakan suatu
tuntutan atau keniscayaan.
Kontribusi
Dakwah Merupakan Keniscayaan Dalam Perjuangan (Hatmiyatun Harakiyah)
Kontribusi dalam
dakwah adalah memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu, kehidupan dan segala
sesuatu yang dipunyai oleh seseorang untuk sebuah cita-cita. Ini menjadi bentuk
pengorbanan seorang kader terhadap dakwah. Perjuangan dan pengorbanan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan.
Kontribusi
dakwah, besar atau kecil memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
menegakkan Islam. Melalui pengorbanan, bangunan ini dapat berdiri tegak dari
komponen satu sama lain baik besar ataupun kecil. Demikian pula kedudukan
status sosial seseorang yang dipandang rendah tatkala memberikan pengorbanannya
maka ia sama kedudukannya dengan yang lain bahkan mungkin lebih tinggi lagi.
Sebagaimana
Rasulullah saw. menggangap mulia seorang penyapu masjid. Karena kerjanya masjid
menjadi bersih dan menarik. Dari kontribusinya itu beliau memberikan tempat di
hatinya bagi tukang sapu tersebut. Beliau mengagumi pengorbanan yang telah
diberikannya. Sehingga Rasulullah saw. melakukan shalat ghaib untuknya. Ini
karena sewaktu tukang sapu masjid itu meningal dunia beliau tidak
mengetahuinya.
Para sahabat
memandang apalah artinya seorang tukang sapu bagi Rasulullah saw. Namun tidak
demikian bagi Rasulullah saw. Tukang sapu itu telah memberikan pengorbanan yang
luar biasa dalam dakwah ini. Semua itu karena ia telah memberikan potensi
miliknya untuk dakwah.
Dalam Majmu’atur
Rasail, Imam Hasan Al Banna rahimahullah, mengingatkan kepada seluruh kader
dakwah untuk selalu berada di barisan terdepan dalam memberikan kontribusi
dakwah, “Wahai Ikhwah, ingatlah baik-baik. Dakwah ini adalah dakwah suci,
jamaah ini adalah jamaah mulia. Sumber keuangan dakwah ini dari kantong kita
bukan dari yang lain. Nafkah dakwah ini disisihkan dari sebagian jatah makan
anak dan keluarga kita. Sikap seperti ini hanya ada pada diri kita –para
aktivis dakwah– dan tidak ada pada yang lainnya. Ingatlah dakwah ini menuntut
pengorbanan. Minimal harta dan jiwa.”
Untuk Meraih
Pertolongan Allah swt. (Intisharullah)
Meskipun
orang yang beriman meyakini bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, tetapi
pertolongan-Nya tidak boleh diartikan sebagai sebuah ‘keajaiban dari langit’
yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja. Sekalipun hal itu bisa saja
terjadi menurut kehendak Allah swt.
Namun
pertolongan Allah itu harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya
yang dilakukan oleh para hamba-Nya dalam memberikan perhatian dan
pengorbanannya kepada dakwah. Firman Allah swt., “Jika kamu menolong (agama)
Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.”
(Muhammad: 7)
Oleh karena
itu, untuk meraih pertolongan Allah, perlu mencari penyebab datangnya. Salah
satu yang melatarbelakanginya adalah dengan memberikan kontribusi terhadap
dakwah ini. Apalagi di saat dakwah ini menghadapi rintangan dari
musuh-musuhnya. Situasi seperti inilah kontribusi aktivis dakwah dapat menjadi
pintu untuk pertolongan-Nya. Terlebih-lebih dalam situasi yang pelik dan
terjepit. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan
Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah: 214)
Karakter
Aktivis Dakwah (Muwashafatul Jundiyah)
Dalam kaedah
syair Bahasa Arab dikatakan bahwa, ‘Fain faqadu syaian lam yu’thi.‘
Siapa yang tidak punya, maka ia tidak akan dapat memberikan sesuatu. Maka mungkinkah
seseorang akan memberikan kontribusinya sementara dirinya tidak memiliki
apa-apa. Mereka yang tidak bisa memberikan pengorbananan apa-apa sepantasnya
merasa malu. Karena telah banyak kebaikan Allah swt. pada kita. Oleh sebab itu
seorang aktivis dakwah perlu mengetahui apa yang ia punyai.
Kaum yang
beriman, khususnya aktivis dakwah, tidak boleh bakhil. Kontribusi apapun, yang
telah ia tunaikan akan sangat bermanfaat bagi dakwah ini. Kemanfaatan
pengorbanan itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini baik bagi orang lain
terlebih lagi bagi dirinya sendiri. Setelah mati, tidak ada sesuatu pun yang
bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah
kelak.
Karenanya,
karakter aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak merasa ringan untuk
berkorban terhadap dakwah. Tidak ada sesuatupun yang merintanginya untuk
berkorban. Ia cepat merespon tuntutan dakwah ini.
“Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah
sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang
setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama)
Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong
agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang
lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman
terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”. (Ash-Shaff: 14)
Kelangsungan
Dakwah (Istimrarud Da’wah)
Memang
kelangsungan dakwah ini telah mendapatkan jaminan dari Allah swt. (At-Taubah:
40). Akan tetapi ia juga berhubungan dengan kontribusi dakwah. Ia ibarat
tetesan darah yang memperpanjang usia perjalanan dakwah ini. Oleh karenanya
pengorbanan aktivis terhadap dakwah menjadi sangat vital.
Dakwah bisa
terus berjalan atau mandeg lantaran pengorbanan aktivisnya. Mereka yang
terdepan dalam memberikan kontribusinya, merekalah yang menjadi pelangsung
dakwah. Sebaliknya mereka yang tidak berada pada barisan ini, menjadi penyebab
mandul atau matinya dakwah. Karena mereka tidak memberikan pengorbanan, Allah
swt. akan menggatikannya dengan aktivis yang lainnya. Hal itu terjadi untuk
mensinambungkan gerak perjalanan dakwah.
“Ingatlah,
kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah.
Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia
hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan
kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu
(ini)”. (Muhammad:
38)
Adapun
kontribusi yang dapat diberikan seorang aktivis sangat banyak, karena seluruh
potensi yang dimiliki dapat disumbangkan untuk dakwah. Untuk memudahkan kita
memahami kontribusi dalam dakwah ini, al-atha’ ad-da’awy diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Al-Atha’
Al Fikry (Kontribusi Pemikiran)
Jiwa dari
perjuangan da’wah adalah kontribusi pemikiran karena nilai-nilai Islam hidup
bersama hidupnya pemikiran Islam di tengah-tengah umat. Umat ini tidak boleh
sepi untuk mendayagunakan pemikirannya. Agar menghasilkan solusi yang telah
diberikan Islam.
Ajaran Islam
mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia dari
berbagai zaman dan peradaban. Dan solusi yang diberikan mencakup berbagai
aktifitas kehidupan manusia. Untuk mendapatkan jawabannya umat Islam harus
mampu menggunakan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh Allah swt. yakni
ijtihad. Karenanya Rasulullah saw. sangat menghargai proses ijtihad yang
dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada
Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman.
Dr. Yusuf
Qaradhawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat : “Yang tampak oleh
saya bahwa krisis kita yang utama adalah ‘krisis pemikiran’ (azmah fikriyah).
Di sana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang Islam. Kedangkalan
yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang
paling penting, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang
lemah memahami keadaan masa kini dan kenyataan sekarang (fiqh al waqi’).
Ada yang tidak mengetahui tentang ‘orang lain’ sehingga kita jatuh pada
penilaian yang terlalu ‘berlebihan’ (over estimasi) atau sebaliknya
‘menggampangkan’ (under estimasi). Sementara orang lain mengerti benar
siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap kita sampai ke ‘tulang sumsum’ kita.
Sampai hari ini kita belum mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki
dan titik-titik lemah yang ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu
yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang besar, baik dalam kemampuan maupun
dalam aib-aib kita.’
Kontribusi
kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah tsaqafah
(intelektualitas) dan hadlarah (peradaban) Islam, sebagaimana yang
pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah saw.
sampai dengan pemerintahan Islam sesudahnya. Karena dari sikap inilah muncul
kreativitas dan inovasi baru dalam kehidupan ini. Dengan terbiasanya berpikir
untuk dakwah maka mereka akan terbiasa melahirkan sesuatu yang belum dipikirkan
orang lain. Sehingga manajemen modern sedang menggalakan umat manusia untuk
senantiasa berbuat sebelum orang lain sempat berpikir. Hal itu terjadi apabila
kita terbiasa berpikir cepat dari yang lainnya. Karenanya seorang aktivis
dakwah tidak boleh miskin ide dan gagasan apalagi kikir untuk dikontribusikan
terhadap dakwah.
2. Al-Atha’
Fanny (Kontribusi Keterampilan)
Keterampilan
merupakan anugerah mahal yang diberikan Allah swt. kepada manusia. Skill ini
akan menjadi kekayaan yang tak ternilai. Keterampilan ini dapat pula menjadi
eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan Allah sangat menghargai keterampilan
yang dapat menghantarkannya ke jalan-Nya yang paling baik. Yakni skill yang
dapat berguna untuk kepentingan dakwah. Untuk kepentingan inilah skill tersebut
mendapatkan penghargaan di sisi Allah swt.
“Katakanlah:
‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra’: 84)
Sesungguhnya
semua skill yang dimiliki seseorang dapat memberikan pengaruh yang besar
terhadap dakwah. Kemenangan dakwah dalam sepanjang sejarah juga diwarnai oleh
keterampilan dari para pahlawan Islam. Ada yang mahir menunggang kuda dari
balik perut kuda hingga bisa membuka benteng musuh. Ada yang terampil
menggunakan pedangnya hingga tampak bagai tarian. Ada juga yang ahli dalam
mengadu domba hingga mematahkan kekuatan barisan musuh dan masih banyak lagi
yang lainnya. Karena itu para pengemban risalah dakwah ini mendorong umatnya
untuk turut serta dalam mendayagunakan keterampilannya bagi kemenangan dakwah.
“Katakanlah:
‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja
(pula), maka kelak kamu akan mengetahu.’” (Az-Zumar: 39)
3. Al-Atha’
Al-Maaly (Kontribusi Materi)
Kontribusi
materi merupakan kekuatan fisik dari dakwah karena ia akan menggerakkan
jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus
diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. Oleh karena itu berbagai
persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah swt. sebagaimana firman-Nya: “Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu dan kamu tidak
akan dianaiaya (dirugikan).” (Al-Anfal: 60)
Para sahabat
telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus diikuti oleh perjuangan
mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah yang tiada taranya. Abu
Bakar Shiddiq adalah sahabat yang rela mengorbankan seluruh harta miliknya di
jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan yang kaya raya itu juga sangat luar
biasa tanggung jawabnya dalam persoalan kontribusi material ini. Ketika pada
masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi musim paceklik Utsman menyumbangkan
gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta.
Perjuangan
yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan
dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang
seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini
adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah.
Inilah yang ditunaikan Rasulullah saw. ketika memproduksi senjata-senjata
perang, yang ditunaikan Umar bin Khattab ketika menciptakan “panser-panser” (dababah)
atau Utsman bin Affan ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah
pimpinan Muawiyah.
4. Al-Atha’
An-Nafsy (Kontribusi Jiwa)
Kontribusi
jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan
dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan menyerahkannya
kepada ketakwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang mendasari seluruh
kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi keinginan-keinginan untuk
membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mau berkorban bagi pihak
lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil yang mengungkung jiwanya
baik dalam aspek material maupun non-material.
Kontribusi
terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja
menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari
badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang
dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan
dakwah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan AlQur-an. Dan siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain) dari pada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:
111).
Termasuk
dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan
kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan
kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak
memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau mengambil
kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai akhirat.
5. Al-Atha’
Al-Mulky (Kontribusi Kewenangan)
Kewenangan
yang dimiliki seseorang dalam jajaran birokrasi pemerintahan ataupun
kemasyarakatan dapat juga bermanfaat untuk kemajuan dakwah. Baik birokrasi
tingkat rendah apalagi tingkat yang lebih tinggi. Dengan jabatan dan
kewenangannya ia dapat menentukan sesuatu yang dapat dipandang baik atau buruk
terhadap pertumbuhan dakwah.
Karenanya
jabatan dan kewenangan yang ada padanya harus bisa memberikan pengaruh terhadap
geliatnya dakwah. Bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Tidak
jarang kita jumpai banyak orang yang tidak mempergunakannya untuk dakwah malah
kadang mempersempit ruang gerak dakwah. Tidak seperti umat lain yang
memaksimalkan jabatan dan kewenangannya untuk kepentingan dakwah mereka.
Lihatlah
paparan kisah yang Allah swt. ceritakan dalam Al-Qur’an tentang pembelaan
pengikut Nabi Musa yang berada di jajaran pemerintahan Fir’aun meski harus
menyembunyikan imannya. Dan seorang laki-laki yang beriman di antara
pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu
akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: Tuhanku ialah Allah,
padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa)
dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang
diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Al-Mukmin: 28)
Begitu
berartinya jabatan dan kewenangan bagi dakwah, sampai-sampai Rasulullah saw.
berdoa pada Allah swt. agar memberikan hidayah Islam kepada pembesar Qurasiy,
yakni antara dua Umar: Umar ibnul Khaththab atau Amr bin Hisyam.
Kiat untuk
dapat memberikan kontribusi dakwah
Untuk dapat
mendorong dirinya memberikan kontribusinya dalam dakwah, aktivis dakwah perlu
mengupayakan kiat-kiat jitu dalam berkorban. Pertama, biasakan diri
untuk memberikan kontribusi setiap hari meskipun dalam jumlah yang kecil.
Sedapatnya bisa berkorban baik harta, waktu, dan tenaga setiap hari, pekan
ataupun waktu-waktu lainnya. Kalau perlu dengan ukuran yang jelas, misalnya
satu hari memberikan kontribusinya untuk dakwah Rp 1.000 atau dua jam dari
waktunya atau satu gagasannya. Sehingga apa yang ia berikan dapat terukur.
Untuk dapat membiasakannya bila perlu memberikan sanksi jika meninggalkan
kebiasaan tersebut. Seperti Umar menyumbangkan kebunnya karena tidak shalat
berjamaah. Ibnu Umar memperpanjang shalatnya bila tidak berjamaah. Rasulullah
saw. mengerjakan shalat dhuha 12 rakaat bila meninggalkan qiyamullail.
Kedua, meningkatkan kemampuan visualisasi terhadap balasan
dan ganjaran dunia dan akhirat. Apalagi balasan yang dijanjikan-Nya sangat
besar, Allah swt. akan memberikan kedudukan yang kokoh di dunia atas segala
kontribusi yang diberikan (An-Nuur: 55). Allah swt. juga memandang mulia orang
yang berkorban, bahkan derajatnya ditinggikan dari orang yang lainnya
(An-Nisaa’: 95). Keyakinan akan balasan dan ganjaran yang diberikan akan
memudahkan orang akan menyumbangkan apa saja yang dimilikinya.
Ketiga, selalu bercermin pada orang lain dalam berkorban.
Orang beriman akan menjadi cermin bagi yang lainnya. Dengan senantiasa melihat
apa yang dilakukan yang lain. Paling tidak dapat memberikan dorongan untuk
melakukan seperti yang dilakukan orang lain. Tidak jarang para sahabat
berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan lantaran bercermin dari sahabat
lainnya.
Keempat, selalu meyakini bahwa setiap pengorbanan yang
diberikan akan memberikan manfaat yang sangat besar baik bagi dirinya ataupun
yang lain. Keyakinan yang demikian akan mendorong untuk selalu berbuat. Sebab,
betapa banyaknya orang yang dapat menikmati atau mengambil faedah dari apa yang
kita lakukan. Sebagaimana ditemukan sebuah penelitian, para pekerja pembuat
obat di pabrik tidak jadi melakukan mogok kerja karena mereka melihat langsung
bahwa banyak pasien di rumah sakit yang sangat membutuhkan obat yang mereka
buat.
Kelima, senantiasa berdoa pada Allah swt. agar dimudahkan
untuk selalu berkorban. Karena Allah swt. pemilik hati orang beriman sehingga
dengan berdoa diharapkan hati kita senantiasa berada di barisan terdepan untuk
memberikan kontribusi bagi kemenangan dakwah. Dengan berdoa dapat bertahan
untuk memperjuangkan dakwah hingga akhir hayat kita.
“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil)
menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima
dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain
(Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27
|
Jumat, 16 Desember 2011
Cinta dan Pernikahan: Sebuah Karangan Bunga
15/12/2011 | 20 Muharram 1433 H | Hits: 902
Oleh: Bezie Galih Manggala Oleh: Bezie Galih Manggala dan Foezi Citra Cuaca Elmart
dakwatuna.com - Bismillahirrahmanirrahim
Allahurabbana, jauhkan kami dari segala keburukan dan kejahatan makhlukMu, baik itu niat maupun perilaku.
Aamiin.
“Hal yang klasik dari cinta adalah ia akan terasa manakala ditinggalkan.”
- one of our brother
Cinta. Cinta. Cinta. Seringkali dijadikan bahasan yang tak pernah bosan untuk diperbincangkan. Meski seringkali ia buntu dalam definisi dan tak masuk logika memaknainya. Tapi, bukan berarti ia tak memiliki arti dan makna yang hakiki dan sejati; tentunya dari yang telah menghadirkan cinta itu sendiri, Yang Maha Memiliki.
Senja bagi kesendirian sepertinya telah mulai turun di Jakarta, begitu pula di kota-kota lainnya di penjuru Nusantara. Entah apakah ada korelasinya atau tidak, kami tidak pernah benar-benar tahu; tapi seiring dengan menjamurnya Janur di Gedung-gedung resepsi, diskusi-diskusi tentang cinta dan pernikahan seolah-olah tidak berhenti masuk ke meja redaksi kami.
Satu hari sebelumnya, seorang sahabat hadir dan menyapa ruang maya dimana kami biasa menggelar taplak-taplak meja di atas meja-meja kayu dengan daun bundar, dengan gelas-gelas coklat hangat untuk menemani ruang diskusi kami. Sahabat tersebut bertanya tentang makna cinta yang impersonal, yang saya maknai sebagai fakta bahwa cinta dalam hati kita adalah amanah yang dititipkan oleh Sang Maha Pemilik Cinta; kita hanya menjalankan tugasnya, sehingga tak berhak atas klaim apapun yang menjadi konsekuensi dari menyampaikan cinta; tidak benar-benar cemburu, tidak benar-benar merasa kehilangan, tidak juga kita berhak untuk mengekang cinta dengan klaim kita; tidak, kecuali pada batas-batas yang telah diizinkan oleh Yang Menitipkan Cinta Pada Kita.
Hari berikutnya, Allah pasti tengah mengingatkan kami tentang apa itu cinta; setelah dua buah bincang menyenangkan tentang interaksi ikhwan-akhwat; yang satu diiringi pertengkaran seru serta tawa lucu yang hadir karena bayi Musa sibuk bermain dengan kue tart, yang lain penuh rasa haru karena diiringi cinta yang tulus seorang guru kepada anak didiknya, serta kritik penuh kasih anak didik tersebut kepada pembimbingnya, seorang sahabat tiba-tiba menyampaikan dua buah pertanyaan yang menarik untuk kita ambil hikmahnya dalam sebuah pembahasan.
Dua pertanyaan tersebut adalah,
1. Mana yang baik, cinta dulu baru menikah, atau menikah dulu baru cinta?
2. Seberapa pentingkah cinta dalam pernikahan?
Kami tersenyum, sahabat tersebut seperti menjelma sesosok malaikat, yang Allah sampaikan langsung untuk memberi kami pengingat tentang hakikat cinta; maka sembari meminta perlindungan kepada Allah dari bisikan syaithan yang senantiasa membuat kami lupa pada hakikat-hakikat kehidupan yang sebenarnya, kami coba jawab pertanyaan tersebut dengan memaknai terlebih dahulu. “Apa itu cinta?”
Ya, apa itu cinta?
Dalam bahasa Indonesia, sulit sekali rasanya untuk mendefinisikan secara pasti, seperti apa rupa cinta sebenarnya. Perasaan kita pada orang tua, apakah itu cinta? Ya, itu cinta. Perasaan kita pada sahabat juga teman halaqah, apakah itu cinta? Ya, itu juga cinta. Perasaan seorang istri kepada suaminya, atau sebaliknya, perasaan seorang suami kepada istrinya, adakah itu cinta? Ya, apalagi itu, itu cinta! Semuanya dalam Bahasa Indonesia disebut Cinta, meski kita sama-sama mahfum bahwa pada kenyataannya, satu dan lainnya sejatinya berbeda-beda maknanya.
Tentu tidak sama rasa cinta kita pada orang tua, pada sahabat, dan pada pasangan hidup kita. Tapi tiga-tiganya sama-sama kita sebut cinta, padahal sejatinya berbeda, bukan?
Jika kami boleh menyimpulkan, inilah salah satu karakter dalam bahasa kita; banyak kenyataan yang berbeda yang hanya direpresentasikan oleh satu kata yang sama, sehingga secara keilmuan, menghadirkan tantangan tersendiri untuk mendefinisikan.
Jika kami boleh menggambarkan, dalam bahasa Indonesia, cinta sebenarnya adalah sebuah kata umum, yang menjelaskan suatu rangkaian dari rasa yang sifatnya jauh lebih khusus.
Sederhananya begini, mari kita bayangkan sebuah karangan bunga. Terangkai dari bermacam mahkota dengan ragam rupa, ranah warna, dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Karangan bunga yang berbeda dapat ditujukan untuk kesempatan dan acara yang berbeda-beda. Karangan bunga mawar dua warna dapat ditujukan untuk sebuah momen yang menunjukkan romansa yang kental, mungkin dengan gelas-gelas kristal dan candlelight dinner? Karangan bunga yang berbeda mungkin dapat ditujukan untuk sebuah acara makan malam keluarga, belasungkawa, atau ucapan selamat seorang sahabat yang baru saja menamatkan pendidikan doktoratnya.
Seperti apapun komposisi bunga di dalamnya, ditujukan untuk acara apapun, mewakili kesempatan apapun, karangan bunga hanya memiliki satu nama; Ya, karangan bunga!
Sekarang, mari kita coba analogikan cinta sebagai karangan bunga. Pada cinta juga terdapat bunga-bunga rasa yang berbeda-beda, dengan komposisi yang berbeda untuk setiap kesempatan cinta yang juga berbeda. Ada karangan bunga merah-putih untuk suami/istri tercinta. Bunga Matahari untuk mereka yang selalu kita perhatikan langkahnya. Ada juga karangan belasungkawa bagi mereka yang pernah bersetia mengisi hari-hari kita, tapi dipanggil pergi terlebih dahulu oleh Yang Sejatinya Sangat Mencintai dirinya.
Kembali ke pertanyaan semula tentang cinta, untuk memutuskan sebuah jawaban tentang cinta, bijak adalah memahami komposisi apa saja yang mungkin terdapat dalam sebuah cinta.
A. Dalam sebuah cinta, bisa dipastikan hadir apa yang disebut sebagai afeksi, “kasih sayang.” Ini adalah jenis rasa seperti apa yang kita miliki terhadap keluarga, saudara, atau sahabat-sahabat kita.
B. Ada juga yang disebut care, atau perhatian. Ini yang terjadi saat kita memikirkan orang-orang terdekat yang mungkin sedang sakit atau dalam perjalanan, misalkan. Keinginan untuk mengirimkan pesan singkat untuk sekedar menanyakan kabar, atau perkembangan pekerjaan yang selalu mereka keluhkan, itu adalah perhatian. Perhatian pada cinta memegang peran penting karena ia cenderung mengharapkan kebaikan serta keselamatan bagi mereka yang begitu kita perhatikan.
C. Perhatian ini, pada tingkatan tertentu, biasanya menghadirkan komposisi lain dari cinta, yaitu service, rasa ingin membantu, melayani, dan juga memberi. Pada tingkatan ini, biasanya seseorang begitu menderita apabila tidak dapat menyampaikan bantuan atau pemberiannya kepada orang yang dicintainya.
D. Pada cinta jenis tertentu, ada juga apa yang disebut passion, atau eros, lebih dekat dengan syahwat dalam terminologi Islam; sifat dari rasa ini biasanya possesif dan physical. Rasa ini juga yang biasanya bertanggung jawab atas kecemburuan. Biasanya terdapat pada cinta seorang suami terhadap istrinya, dan juga berlaku sebaliknya.
E. Selain hal-hal tersebut, dalam cinta juga terdapat interest, yaitu minat, atau ketertarikan. Biasanya menghadirkan kerinduan, rasa senang ketika berdekatan, dan ruang kosong yang khas dalam dada ketika yang diminati tak sedang berada dekat dengan kita.
Nah, inilah sebagian besar komposisi dari apa yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai cinta.
F. Namun, sebenarnya ada yang lebih dalam maknanya tentang cinta, yaitu yang disebut rahmah. Rahmah adalah cinta kasih yang muncul atas kesadaran bahwa Allah adalah Ar-Rahman. Konsekuensi akhlakiyahnya adalah mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah SWT. Seperti yang dapat dilihat dari penjabaran 8 Definisi cinta dalam Al-Qur’an. [1]
Pada bahasan tersebut, dikatakan bahwa jenis Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding dirinya sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita.
Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an, kerabat disebut al-arham, dzawi al-arham, yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah).
Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu bersilaturahim, atau silaturahim artinya menyambung tali kasih sayang. Suami istri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.
Lalu, ada yang bertanya: “Lebih baik mana, mencintai terlebih dahulu lalu menikah, atau menikah dulu lalu berusaha untuk mencintai?”
Seperti yang telah disepakati sebelumnya tentang analogi cinta sebagai rangkaian bunga, maka rangkaian bunga yang kita berikan pada kedua orang tua (biasanya terdiri dari afeksi, service, care, dan rahmah), tentunya berbeda dengan rangkaian bunga yang kita miliki untuk suami/istri, yang biasanya lebih kental unsur passion dan care-nya.
Lantas, untuk calon suami/istri? Dalam hal ini, kami tidak memiliki hak untuk berpendapat; sebab Allah melalui RasulNya telah terlebih dahulu menyampaikan pendapatNya.
Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, ada kisah tentang seorang sahabat yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
Lelaki itu menjawab: “Belum.”
Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaklah engkau melihat terlebih dahulu karena pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.”[2]
Para ulama menyimpulkan, bahwa hadits tersebut menganjurkan kepada kita untuk melihat terlebih dahulu calon istri/suami kita, supaya hadir dalam diri kita interest atau ketertarikan, atau dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah kecenderungan.
Apakah kecenderungan bisa diartikan sebagai cinta? Dengan cara pandang tertentu, tentu saja bisa. Tapi jangan sampai terlalu kental passion-nya, agar tidak menjadi posesif, apalagi sebelum takdir Allah mengikat hubungan keduanya dengan pernikahan yang sah.
Toh pada perjalanannya, rangkaian pada cinta biasanya bertransformasi. Sebagaimana cinta pada teman halaqah yang juga berubah, terkadang unsur service lebih banyak bermain, terkadang hanya ‘sekedar’ care. Tak jarang juga hadir kebencian yang mewarnai pertengkaran-pertengkaran (ya, benci juga termasuk salah satu komposisi cinta), besoknya bermaaf-maafan sambil saling bertangisan.
Inilah dinamika komposisi cinta, suatu hal yang niscaya. Dapat kita lihat bahwa karangan bunga cinta selalu dinamis, ini yang menjadikannya begitu manis. Dinamika ini yang menjadikan cinta begitu menarik hati manusia; coba bayangkan diri Anda menonton sebuah film yang tidak memiliki dinamika, klimaks dan anti-klimaks, sejak awal hingga akhir alur dan ceritanya datar-datar saja; pasti Anda tidak akan tertarik. Maka tafsirkan sendiri di hati masing-masing, bagaimana rasa cinta Anda dengan dinamikanya; jika ia menggelitik hati, maka mari kita sama-sama syukuri.
Kembali ke soal calon suami/istri, tentu saja “rahmah” tetap harus diutamakan. Karena bila faktor rahmah sudah mengental, maka apa yang dicintai Allah, itulah yang kita cintai. Namun kita jangan sampai juga melupakan faktor diri, karena bagaimanapun kita bukan Rasul, yang oleh Allah memang dijadikan rahmatan lil alamin. Namun pula, bukan berarti kita tidak bisa berusaha meneladaninya, tapi, menjadi realistis juga sangat penting.
Meminjam istilah orang bijak: “Jodoh itu memang di tangan Allah, namun bila tidak kita usahakan, ya tetap akan di tangan Allah!” Dalam ikhtiarnya, tentunya menjadi realistis juga penting. Jangan hanya beralasankan rahmah, misalkan, karena seseorang itu shalih dan faqih, maka kita mau nikahi padahal kita sama sekali tidak memiliki kecenderungan terhadapnya. Kalau sampai begitu, tentu kasihan sekali pernikahannya, karena tanpa kecenderungan cinta akan sulit berkembang. Itulah hikmah dari disyariatkannya Nazhar, atau “melihat” calon suami/istri terlebih dahulu.
Lalu, ada yang bertanya lagi: “Seberapa penting peran cinta dalam sebuah pernikahan?”
Tentu jawabannya “penting sekali”! Tapi kita harus tetap ingat bahwa: “We are the driver, not the passenger in life.”[3]
Kita adalah juru mudi dari rasa. Jadi bukan cinta yang mengendalikan kita, melainkan kita yang mengendalikan cinta kita.
#AnotherPerspective
Saat menemukan keburukan suami/istri, niatkan untuk menutupi dan memperbaikinya karena Allah, itulah cinta.
Saat menemukan kelebihan suami/istri, niatkan untuk mengingatkannya agar tetap rendah hati karena Allah, itulah cinta.
Saat merasa tidak nyaman dengan suami/istri, niatkan untuk bersetia tinggal karena Allah, itulah cinta.
Dan saat merasa begitu nyaman dengan suami/istri, ingatkan kepadanya bahwa inilah kasih Allah, dan itulah cinta.
Ingat bahwa rahmah itu impersonal. Itu adalah kasih sayang Allah langsung kepada hambaNya. Jika ingin menjaga rahmah dalam cinta, maka jangan jadikan kecintaan kepada selain Allah dan Rasulnya jauh lebih besar. Itulah makna kesetiaan dalam Islam. Sebab jika sampai melanggar itu, bisa mencelakakan baik yang dicintai maupun yang mencintai. Na’udzubillah min dzalika.
“Apa itu cinta?” Ya, cinta. Satu kata yang membuatmu tak cukup hanya menggaruk kepala untuk menemukan definisinya. Satu kata yang selalu membuatmu terpaksa menitikkan air mata. Bukan karena lidahmu yang kelu untuk menjabarkannya, ataukah naifnya dirimu untuk mengakuinya. Hanya saja kau terlalu takut akan hati dan pikiranmu sendiri, yang mungkin telah sering menggerus niat yang semestinya lurus. Menyimpangkan segalanya dari yang paling Cinta.
Ah, cinta. Aku pun tak mendapat ringkasannya secara jelas, pun narasinya yang tak tereja. Bukan sekadar ia yang abstrak dan membuatmu bergolak, ia yang samar seiring kencangnya dadamu berdebar, ia yang tersohor picisan namun merayapimu perlahan. Yang aku tahu, ia itu semakin berharga ketika kita tak bisa mendefinisikannya. Ia bukan hanya perhitungan seberapa kau memberi dan menerima, namun menjunjung keseimbangan di antara keduanya. Ia bukan antara aku, kamu atau kita, tapi ia jauh lebih mulia menghadirkan yang Maha Mulia.
- kutipan “one of my letter for my husband.”
Di luar itu semua, yang lebih penting dari memikirkan bagaimana itu cinta dan pernikahan adalah memantaskan diri untuk mendapat yang terbaik. Siapkan ilmu, amal dan mental karena Allah, menjadi ikhwan dan akhwat berkualitas yang memang pantas bersanding dengan hamba Allah yang berkualitas pula.
Wallahualam Bish Shawab
dakwatuna.com - Bismillahirrahmanirrahim
Allahurabbana, jauhkan kami dari segala keburukan dan kejahatan makhlukMu, baik itu niat maupun perilaku.
Aamiin.
“Hal yang klasik dari cinta adalah ia akan terasa manakala ditinggalkan.”
- one of our brother
Cinta. Cinta. Cinta. Seringkali dijadikan bahasan yang tak pernah bosan untuk diperbincangkan. Meski seringkali ia buntu dalam definisi dan tak masuk logika memaknainya. Tapi, bukan berarti ia tak memiliki arti dan makna yang hakiki dan sejati; tentunya dari yang telah menghadirkan cinta itu sendiri, Yang Maha Memiliki.
Senja bagi kesendirian sepertinya telah mulai turun di Jakarta, begitu pula di kota-kota lainnya di penjuru Nusantara. Entah apakah ada korelasinya atau tidak, kami tidak pernah benar-benar tahu; tapi seiring dengan menjamurnya Janur di Gedung-gedung resepsi, diskusi-diskusi tentang cinta dan pernikahan seolah-olah tidak berhenti masuk ke meja redaksi kami.
Satu hari sebelumnya, seorang sahabat hadir dan menyapa ruang maya dimana kami biasa menggelar taplak-taplak meja di atas meja-meja kayu dengan daun bundar, dengan gelas-gelas coklat hangat untuk menemani ruang diskusi kami. Sahabat tersebut bertanya tentang makna cinta yang impersonal, yang saya maknai sebagai fakta bahwa cinta dalam hati kita adalah amanah yang dititipkan oleh Sang Maha Pemilik Cinta; kita hanya menjalankan tugasnya, sehingga tak berhak atas klaim apapun yang menjadi konsekuensi dari menyampaikan cinta; tidak benar-benar cemburu, tidak benar-benar merasa kehilangan, tidak juga kita berhak untuk mengekang cinta dengan klaim kita; tidak, kecuali pada batas-batas yang telah diizinkan oleh Yang Menitipkan Cinta Pada Kita.
Hari berikutnya, Allah pasti tengah mengingatkan kami tentang apa itu cinta; setelah dua buah bincang menyenangkan tentang interaksi ikhwan-akhwat; yang satu diiringi pertengkaran seru serta tawa lucu yang hadir karena bayi Musa sibuk bermain dengan kue tart, yang lain penuh rasa haru karena diiringi cinta yang tulus seorang guru kepada anak didiknya, serta kritik penuh kasih anak didik tersebut kepada pembimbingnya, seorang sahabat tiba-tiba menyampaikan dua buah pertanyaan yang menarik untuk kita ambil hikmahnya dalam sebuah pembahasan.
Dua pertanyaan tersebut adalah,
1. Mana yang baik, cinta dulu baru menikah, atau menikah dulu baru cinta?
2. Seberapa pentingkah cinta dalam pernikahan?
Kami tersenyum, sahabat tersebut seperti menjelma sesosok malaikat, yang Allah sampaikan langsung untuk memberi kami pengingat tentang hakikat cinta; maka sembari meminta perlindungan kepada Allah dari bisikan syaithan yang senantiasa membuat kami lupa pada hakikat-hakikat kehidupan yang sebenarnya, kami coba jawab pertanyaan tersebut dengan memaknai terlebih dahulu. “Apa itu cinta?”
Ya, apa itu cinta?
Dalam bahasa Indonesia, sulit sekali rasanya untuk mendefinisikan secara pasti, seperti apa rupa cinta sebenarnya. Perasaan kita pada orang tua, apakah itu cinta? Ya, itu cinta. Perasaan kita pada sahabat juga teman halaqah, apakah itu cinta? Ya, itu juga cinta. Perasaan seorang istri kepada suaminya, atau sebaliknya, perasaan seorang suami kepada istrinya, adakah itu cinta? Ya, apalagi itu, itu cinta! Semuanya dalam Bahasa Indonesia disebut Cinta, meski kita sama-sama mahfum bahwa pada kenyataannya, satu dan lainnya sejatinya berbeda-beda maknanya.
Tentu tidak sama rasa cinta kita pada orang tua, pada sahabat, dan pada pasangan hidup kita. Tapi tiga-tiganya sama-sama kita sebut cinta, padahal sejatinya berbeda, bukan?
Jika kami boleh menyimpulkan, inilah salah satu karakter dalam bahasa kita; banyak kenyataan yang berbeda yang hanya direpresentasikan oleh satu kata yang sama, sehingga secara keilmuan, menghadirkan tantangan tersendiri untuk mendefinisikan.
Jika kami boleh menggambarkan, dalam bahasa Indonesia, cinta sebenarnya adalah sebuah kata umum, yang menjelaskan suatu rangkaian dari rasa yang sifatnya jauh lebih khusus.
Sederhananya begini, mari kita bayangkan sebuah karangan bunga. Terangkai dari bermacam mahkota dengan ragam rupa, ranah warna, dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Karangan bunga yang berbeda dapat ditujukan untuk kesempatan dan acara yang berbeda-beda. Karangan bunga mawar dua warna dapat ditujukan untuk sebuah momen yang menunjukkan romansa yang kental, mungkin dengan gelas-gelas kristal dan candlelight dinner? Karangan bunga yang berbeda mungkin dapat ditujukan untuk sebuah acara makan malam keluarga, belasungkawa, atau ucapan selamat seorang sahabat yang baru saja menamatkan pendidikan doktoratnya.
Seperti apapun komposisi bunga di dalamnya, ditujukan untuk acara apapun, mewakili kesempatan apapun, karangan bunga hanya memiliki satu nama; Ya, karangan bunga!
Sekarang, mari kita coba analogikan cinta sebagai karangan bunga. Pada cinta juga terdapat bunga-bunga rasa yang berbeda-beda, dengan komposisi yang berbeda untuk setiap kesempatan cinta yang juga berbeda. Ada karangan bunga merah-putih untuk suami/istri tercinta. Bunga Matahari untuk mereka yang selalu kita perhatikan langkahnya. Ada juga karangan belasungkawa bagi mereka yang pernah bersetia mengisi hari-hari kita, tapi dipanggil pergi terlebih dahulu oleh Yang Sejatinya Sangat Mencintai dirinya.
Kembali ke pertanyaan semula tentang cinta, untuk memutuskan sebuah jawaban tentang cinta, bijak adalah memahami komposisi apa saja yang mungkin terdapat dalam sebuah cinta.
A. Dalam sebuah cinta, bisa dipastikan hadir apa yang disebut sebagai afeksi, “kasih sayang.” Ini adalah jenis rasa seperti apa yang kita miliki terhadap keluarga, saudara, atau sahabat-sahabat kita.
B. Ada juga yang disebut care, atau perhatian. Ini yang terjadi saat kita memikirkan orang-orang terdekat yang mungkin sedang sakit atau dalam perjalanan, misalkan. Keinginan untuk mengirimkan pesan singkat untuk sekedar menanyakan kabar, atau perkembangan pekerjaan yang selalu mereka keluhkan, itu adalah perhatian. Perhatian pada cinta memegang peran penting karena ia cenderung mengharapkan kebaikan serta keselamatan bagi mereka yang begitu kita perhatikan.
C. Perhatian ini, pada tingkatan tertentu, biasanya menghadirkan komposisi lain dari cinta, yaitu service, rasa ingin membantu, melayani, dan juga memberi. Pada tingkatan ini, biasanya seseorang begitu menderita apabila tidak dapat menyampaikan bantuan atau pemberiannya kepada orang yang dicintainya.
D. Pada cinta jenis tertentu, ada juga apa yang disebut passion, atau eros, lebih dekat dengan syahwat dalam terminologi Islam; sifat dari rasa ini biasanya possesif dan physical. Rasa ini juga yang biasanya bertanggung jawab atas kecemburuan. Biasanya terdapat pada cinta seorang suami terhadap istrinya, dan juga berlaku sebaliknya.
E. Selain hal-hal tersebut, dalam cinta juga terdapat interest, yaitu minat, atau ketertarikan. Biasanya menghadirkan kerinduan, rasa senang ketika berdekatan, dan ruang kosong yang khas dalam dada ketika yang diminati tak sedang berada dekat dengan kita.
Nah, inilah sebagian besar komposisi dari apa yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai cinta.
F. Namun, sebenarnya ada yang lebih dalam maknanya tentang cinta, yaitu yang disebut rahmah. Rahmah adalah cinta kasih yang muncul atas kesadaran bahwa Allah adalah Ar-Rahman. Konsekuensi akhlakiyahnya adalah mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah SWT. Seperti yang dapat dilihat dari penjabaran 8 Definisi cinta dalam Al-Qur’an. [1]
Pada bahasan tersebut, dikatakan bahwa jenis Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding dirinya sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita.
Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an, kerabat disebut al-arham, dzawi al-arham, yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah).
Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu bersilaturahim, atau silaturahim artinya menyambung tali kasih sayang. Suami istri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.
Lalu, ada yang bertanya: “Lebih baik mana, mencintai terlebih dahulu lalu menikah, atau menikah dulu lalu berusaha untuk mencintai?”
Seperti yang telah disepakati sebelumnya tentang analogi cinta sebagai rangkaian bunga, maka rangkaian bunga yang kita berikan pada kedua orang tua (biasanya terdiri dari afeksi, service, care, dan rahmah), tentunya berbeda dengan rangkaian bunga yang kita miliki untuk suami/istri, yang biasanya lebih kental unsur passion dan care-nya.
Lantas, untuk calon suami/istri? Dalam hal ini, kami tidak memiliki hak untuk berpendapat; sebab Allah melalui RasulNya telah terlebih dahulu menyampaikan pendapatNya.
Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, ada kisah tentang seorang sahabat yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا
“Apakah engkau telah melihatnya?”Lelaki itu menjawab: “Belum.”
Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaklah engkau melihat terlebih dahulu karena pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.”[2]
Para ulama menyimpulkan, bahwa hadits tersebut menganjurkan kepada kita untuk melihat terlebih dahulu calon istri/suami kita, supaya hadir dalam diri kita interest atau ketertarikan, atau dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah kecenderungan.
Apakah kecenderungan bisa diartikan sebagai cinta? Dengan cara pandang tertentu, tentu saja bisa. Tapi jangan sampai terlalu kental passion-nya, agar tidak menjadi posesif, apalagi sebelum takdir Allah mengikat hubungan keduanya dengan pernikahan yang sah.
Toh pada perjalanannya, rangkaian pada cinta biasanya bertransformasi. Sebagaimana cinta pada teman halaqah yang juga berubah, terkadang unsur service lebih banyak bermain, terkadang hanya ‘sekedar’ care. Tak jarang juga hadir kebencian yang mewarnai pertengkaran-pertengkaran (ya, benci juga termasuk salah satu komposisi cinta), besoknya bermaaf-maafan sambil saling bertangisan.
Inilah dinamika komposisi cinta, suatu hal yang niscaya. Dapat kita lihat bahwa karangan bunga cinta selalu dinamis, ini yang menjadikannya begitu manis. Dinamika ini yang menjadikan cinta begitu menarik hati manusia; coba bayangkan diri Anda menonton sebuah film yang tidak memiliki dinamika, klimaks dan anti-klimaks, sejak awal hingga akhir alur dan ceritanya datar-datar saja; pasti Anda tidak akan tertarik. Maka tafsirkan sendiri di hati masing-masing, bagaimana rasa cinta Anda dengan dinamikanya; jika ia menggelitik hati, maka mari kita sama-sama syukuri.
Kembali ke soal calon suami/istri, tentu saja “rahmah” tetap harus diutamakan. Karena bila faktor rahmah sudah mengental, maka apa yang dicintai Allah, itulah yang kita cintai. Namun kita jangan sampai juga melupakan faktor diri, karena bagaimanapun kita bukan Rasul, yang oleh Allah memang dijadikan rahmatan lil alamin. Namun pula, bukan berarti kita tidak bisa berusaha meneladaninya, tapi, menjadi realistis juga sangat penting.
Meminjam istilah orang bijak: “Jodoh itu memang di tangan Allah, namun bila tidak kita usahakan, ya tetap akan di tangan Allah!” Dalam ikhtiarnya, tentunya menjadi realistis juga penting. Jangan hanya beralasankan rahmah, misalkan, karena seseorang itu shalih dan faqih, maka kita mau nikahi padahal kita sama sekali tidak memiliki kecenderungan terhadapnya. Kalau sampai begitu, tentu kasihan sekali pernikahannya, karena tanpa kecenderungan cinta akan sulit berkembang. Itulah hikmah dari disyariatkannya Nazhar, atau “melihat” calon suami/istri terlebih dahulu.
Lalu, ada yang bertanya lagi: “Seberapa penting peran cinta dalam sebuah pernikahan?”
Tentu jawabannya “penting sekali”! Tapi kita harus tetap ingat bahwa: “We are the driver, not the passenger in life.”[3]
Kita adalah juru mudi dari rasa. Jadi bukan cinta yang mengendalikan kita, melainkan kita yang mengendalikan cinta kita.
#AnotherPerspective
Saat menemukan keburukan suami/istri, niatkan untuk menutupi dan memperbaikinya karena Allah, itulah cinta.
Saat menemukan kelebihan suami/istri, niatkan untuk mengingatkannya agar tetap rendah hati karena Allah, itulah cinta.
Saat merasa tidak nyaman dengan suami/istri, niatkan untuk bersetia tinggal karena Allah, itulah cinta.
Dan saat merasa begitu nyaman dengan suami/istri, ingatkan kepadanya bahwa inilah kasih Allah, dan itulah cinta.
Ingat bahwa rahmah itu impersonal. Itu adalah kasih sayang Allah langsung kepada hambaNya. Jika ingin menjaga rahmah dalam cinta, maka jangan jadikan kecintaan kepada selain Allah dan Rasulnya jauh lebih besar. Itulah makna kesetiaan dalam Islam. Sebab jika sampai melanggar itu, bisa mencelakakan baik yang dicintai maupun yang mencintai. Na’udzubillah min dzalika.
“Apa itu cinta?” Ya, cinta. Satu kata yang membuatmu tak cukup hanya menggaruk kepala untuk menemukan definisinya. Satu kata yang selalu membuatmu terpaksa menitikkan air mata. Bukan karena lidahmu yang kelu untuk menjabarkannya, ataukah naifnya dirimu untuk mengakuinya. Hanya saja kau terlalu takut akan hati dan pikiranmu sendiri, yang mungkin telah sering menggerus niat yang semestinya lurus. Menyimpangkan segalanya dari yang paling Cinta.
Ah, cinta. Aku pun tak mendapat ringkasannya secara jelas, pun narasinya yang tak tereja. Bukan sekadar ia yang abstrak dan membuatmu bergolak, ia yang samar seiring kencangnya dadamu berdebar, ia yang tersohor picisan namun merayapimu perlahan. Yang aku tahu, ia itu semakin berharga ketika kita tak bisa mendefinisikannya. Ia bukan hanya perhitungan seberapa kau memberi dan menerima, namun menjunjung keseimbangan di antara keduanya. Ia bukan antara aku, kamu atau kita, tapi ia jauh lebih mulia menghadirkan yang Maha Mulia.
- kutipan “one of my letter for my husband.”
Di luar itu semua, yang lebih penting dari memikirkan bagaimana itu cinta dan pernikahan adalah memantaskan diri untuk mendapat yang terbaik. Siapkan ilmu, amal dan mental karena Allah, menjadi ikhwan dan akhwat berkualitas yang memang pantas bersanding dengan hamba Allah yang berkualitas pula.
Wallahualam Bish Shawab
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/17097/cinta-dan-pernikahan-sebuah-karangan-bunga/#ixzz1gfGsHRRd
Langganan:
Postingan (Atom)